BUDAYA MUDIK/PULANG KAMPUNG
Makna Mudik
Mudik bermakna
pergi ke “udik” atau pulang ke kampung halaman. Setidaknya begitulah seperti
yang disebutkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedangkan menurut
pengertian Wikipedia berbahasa Indonesia, mudik adalah kegiatan
perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik berasal dari
bahasa jawa “Mulih Dhisik” yang artinya pulang dulu (Wikipedia). Istilah mudik mengalami sinkronisasi dengan
istilah Idul Fitri. Ia lebih ditekankan pemaknaannya pada waktu menjelang idul
fitri. Padahal selain idul fitri pun orang yang kembali ke kampung halaman
tetap saja disebut mudik juga.
Sejarah Mudik di Indonesia
Tradisi mudik yang selalu dikaitkan dengan lebaran,
terjadi awal pertengahan dasawarsa 1970-an, ketika Jakarta tampil sebagai salah satu
kota besar di Indonesia yang
mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali
Sodikin (1966-1977), berhasil disulap
menjadi kota Metropolitan. Bagi penduduk kota-kota lain, terutama orang-orang
udik, Jakarta menjelma menjadi kota
impian, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di kampung
tidak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Lebih dari 80% para
urbans ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan. Di Jakarta
eksistensi mereka tenggelam, sementara legitimasi sosial atas keberadaan mereka
juga tak kunjung datang. Itulah sebabnya kehadiran mereka di Jakarta akan dapat
memenuhi harapan hidupnya.
Tradisi Mudik
Bila di
Indonesia budaya mudik atau pulang kampung adalah budaya yang dipelihara dan
terus berkelanjutan hingga akhir zaman dan tidak seorangpun yang bisa
menghentikan atau melarang acara ritual tahunan ini, jutaan orang meningalkan
tempat tinggalnya entah rumah milik sendiri atau mengontrak diperantauan
kembali sejenak kekampung halaman untuk melakukan silatulrahmi dengan Orangtua
dan keluarga setelah satu tahun tidak bertemu atau terpisah oleh karena
pekerjaan atau terpaksa merantau demi penghidupan yang lebih baik.
Ritual mudik
juga menjadi semacam media redistribusi uang/modal. Puluhan triliun rupiah
dibawa pemudik, lalu berputar di daerah-daerah sebelum akhirnya nanti kembali
tersedot di kota-kota besar yang menjadi mesin perputaran ekonomi nasional. Meskipun
merepotkan, berbiaya besar, dan berisiko, jutaan perantau atau warga kota yang
masih punya akar di desa dan daerah biasanya memiliki dorongan besar untuk
mengunjungi keluarganya yang ada di udik.
Tradisi Mudik Lebaran
Pada umumnya
masyarakat Indonesia menjelang Lebaran atau Idul Fitri, rutin pulang ke kampung
halaman alias mudik. Mereka tak peduli betapa pun kesulitan yang dihadapinya
untuk mudik lebaran. Seperti : berdesak-desakkan di kareta, berjubel di bis,
dan kemacetan panjang di perjalanan. Begitu juga kalau memakai sepeda motor
dengan resiko kepanasan dan kehujanan. Semua itu dilakukan dalam rangka merayakan
hari Lebaran di kampung halaman, sekaligus untuk ajang silaturahmi bersama
sanak-keluarga. Tradisi mudik nyaris menjadi kebutuhan kultural yang tidak
tergantikan untuk waktu yang lain. Rasanya tidak afdol bila tak kumpul keluarga
pada saat Lebaran. Pulang kampung memang tak sekadar silaturahim. Ada nuansa
unjuk diri kisah sukses pemudik di tanah rantau. Itu sah saja dan menjadi penyemangat
sukses bagi perantau.Oleh
karena itu, meskipun di jalanan bertaruh nyawa, jutaan orang rela pulang
kampung. Bahkan, ratusan ribu orang nekat mengendarai sepeda motor untuk mudik
yang jaraknya bisa mencapai ratusan kilometer. Hingga H-4 pada arus mudik
Lebaran 2013 saja, misalnya, sekitar 50 nyawa pemudik melayang, puluhan orang
luka berat, dan ratusan orang luka ringan akibat mengalami kecelakaan ketika
hendak bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabatnya di daerah. Jika tidak ada
perubahan perilaku pemakai jalan, jumlah korban jiwa di jalan raya kemungkinan
bertambah karena masa mudik hingga saat arus balik masih lama.
Tradisi mudik
dengan kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua, kian
menguat bersamaan dengan membaiknya kesejahteraan warga. Namun, di balik itu
ancamannya sungguh serius. Pada arus mudik dan balik Lebaran 2012, tercatat 908
orang meninggal, 1.505 orang luka berat, dan 5.000 pemudik luka ringan. Sungguh
jumlah kehilangan nyawa yang sangat banyak. Jauh lebih banyak dibandingkan
ketika Gunung Merapi meletus pada awal 2010. Permasalahan mudik memang
kompleks, misalnya, tidak seimbangnya pertambahan jalan dengan jumlah
kendaraan, kualitas infrastruktur termasuk rambu, dan rendahnya disiplin berlalu
lalu lintas. Hampir semua kecelakaan lalu lintas diawali dengan pelanggaran
aturan lalu lintas.
Beragam upaya
dilakukan untuk meredam angka kecelakaan, misalnya, dengan program mudik gratis
menggunakan bus atau kereta api yang dilakukan oleh perusahaan swasta, BUMN,
atau pemerintah daerah. Ini memang langkah mulia, namun dibandingkan dengan
jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan bermotor pribadi, tampaknya hal itu
tidak terlalu banyak mengurangi potensi kecelakaan di jalan. Jumlah korban jiwa
yang terus bertambah dari tahun ke tahun pada arus mudik Lebaran seharusnya
kian menyadarkan pemerintah untuk lebih serius mencari cara agar rakyatnya
tidak mati sia-sia di jalan ketika mau bertemu dengan keluarga dan kerabatnya. Misalnya,
menegakkan aturan larangan sepeda motor dinaiki lebih dari dua orang. Karena
perjalanan panjang dengan sepeda motor sangat berisiko, wajibkan setiap pemudik
sepeda motor mengecek kesehatannya setelah berjalan 100 kilometer, misalnya.
Kalau memang tidak fit, pemudik wajib naik angkutan umum dan kendaraanya
dititipkan di kantor polisi, misalnya Proyek rel kereta ganda yang dijadwalkan
tuntas akhir tahun ini diharapkan bisa menambah pilihan modal transportasi bagi
pemudik Lebaran 2014. Pengoperasian rel ganda tentu saja akan memangkas waktu
tempuh di kota-kota strategis Pulau Jawa. Selain itu, dari sisi keamanan,
seharusnya juga lebih baik sehingga kian banyak orang tertarirk naik kereta
ketika mudik.
Dari sisi
budaya, tradisi mudik Lebaran tidak mungkin dilenyapkan. Kemajuan pesat
teknologi kemajuan teknologi informasi yang ditandai setiap orang bisa
berkomunikasi tanpa kendala jarak, ternyata sama sekali tidak menyurutkan
fitrah manusia yang selalu ingin bertatap muka dan merasakan kehangatan telapak
tangan ketika bersalaman.
Tradisi Mudik di Amerika
Di Amerika
sendiri acara mudik sangat kentara sekali terlihat menjelang hari bersyukur (
Thanks Giving day) Hari bersyukur adalah hari raya terbesar diseluruh Rakyat
Amerika no matter who you are Christian, Jews, Mosleem, buddist semua merayakan
upacara ini dengan menu utama Turkey ( ayam kalkun) saat makan malam bersama
tradisi ini yang terus dilestarikan dari abab ke abad sejak tahun 1790an saat
Kapal May Flower kapal pengungsi dari Irlandia tiba di Playmouth Boston setelah
berlayar jauh dari Eropa demi mencari kebebasan dalam menjalankan kepercayaan
dan bebas dari tekanan pemaksaan agama tertentu. Acara Thanks Giving day
dirayakan pada minggu terakhir dibulan November setiap tahun dan pada saat
itulah terjadi lonjakan penumpang pesawat diseluruh penjuru Amerika Serikat,
namun harga tiket yang dijual tidak ada istilah tulsa atau kenaikan yang luar
biasa sebab rata-rata penduduk AS sudah membeli tiket penerbangannya jauh hari
sebelum tanggal keberangkatannya.
Dampak Positif Mudik
Mudik Lebaran,
di samping menimbulkan dampak negatif, juga banyak dampak positifnya. Pertama,
dampak ekonomi. Mudik para perantau telah menimbulkan dampak positif bagi
ekonomi di kampung halaman. Mereka pulang dengan membawa uang dan berbelanja
telah mendorong perputaran ekonomi yang tinggi di kampung, sehingga para
petani, nelayan dan pemerintah daerah mendapat manfaat ekonomi. Mereka menyewa
hotel dan penginapan, telah mendorong kemajuan kampung halaman karena membuka
dan memajukan bisnis penginapan dan hotel. Belum lagi, pemudik memberi sedekah,
zakat fitrah dan zakat harta (mal) kepada keluarga dan penduduk di kampung
halaman mereka. Kedua, silaturahim (hubungan kasih sayang) antara pemudik dan
penduduk kampung terbangun kembali, yang selama hampir satu tahun tidak pernah
bertemu. Ini sangat positif untuk memelihara, merawat dan menjaga bangunan
kebersamaan satu kampung. Ketiga, persatuan dan kesatuan terjaga dan
terpelihara. Bangsa Indonesia yang amat tinggi rasa keagamaan
(religiusitas)-nya, telah memberi andil yang besar untuk menjaga, merawat dan
memupuk rasa persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia melalui medium
silaturahim Idul Fitri. Hal ini, tidak bisa dinilai dengan pengorbanan harta
dan tenaga yang dilakukan para pemudik. Keempat, pengamalan agama. Peristiwa
mudik Lebaran, juga mempunyai dampak positif dalam pengamalan ajaran Islam.
Karena di tengah kemajuan yang membawa manusia kepada perilaku individualistik,
yang enggan berhubungan dengan pihak lain dan merasa terganggu, melalui medium
silaturahim Idul Fitri dalam rangka hubungan manusia (hablun minannaas) tetap
diamalkan, dan bahkan telah menjadi budaya seluruh bangsa Indonesia. Kelima,
secara sosiologis, mudik Lebaran mendekatkan si perantau yang sudah sukses
dengan mereka yang masih berdomisi di kampung halaman seperti orang tua, famili
dan teman-teman. Peristiwa mudik, bisa memperbaharui kembali hubungan sosial dengan
masyarakat sekampung, yang tentu berdampak positif dalam memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa.
Dampak Negatif Mudik
Mudik Lebaran
yang sudah menjadi budaya, diakui atau tidak, mempunyai dampak negatif.
Pertama, konsumerisme, pamer kemewahan, boros dan berbagai perilaku yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam dan tujuan puasa itu sendiri. Di mana
hasil puasa selama sebulan penuh, seharusnya semakin menghadirkan ketakwaan
yaitu kedekatan kepada Allah dan sesama manusia yang sebagian besar masih
mengalami kesulitan hidup. Mereka masih dihimpit kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan. Kedua, bisa mengundang cemburu dan iri hati para penduduk
kampung. Pulangnya para pemudik untuk berlebaran di kampung halaman, dengan
memamerkan kemewahan misalnya mobil yang bagus, baju dan sepatu yang baru, bisa
menimbulkan 'cultural shock' (goncangan budaya). Di mana orang-orang kampung
atau desa meniru dan mengikuti cara hidup orang kota yang pulang kampung,
misalnya berutang dan atau menjual harta benda seperti tanah untuk membeli
motor, mobil dan sebagainya sebagai asesori kemewahan.
Bisa juga
orang-orang kampung terutama anak-anak muda, laki-laki dan perempuan merantau,
dalam rangka mengikuti jejak para pemudik. Untuk mendapatkan harta dan
kemewahan, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan harta,
supaya tahun berikutnya, mereka juga bisa mudik dan menampilkan kekayaan dan
kemewahan seperti saudara-saudaranya yang mudik tahun lalu. Ketiga, memacu urbanisasi dan
migrasi. Mudik Lebaran, juga bisa berdampak negatif yang memacu peningkatan
urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kampung atau desa ke berbagai kota
di Indonesia. Selain itu, juga dapat mendorong meningkatnya migrasi, yaitu
perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain. Dalam sejarah mudik
Lebaran, sudah terbukti bahwa usai mudik lebaran, semakin banyak orang kampung
yang melakukan urbanisasi, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari
kehidupan di kota.
Sebenarnya
peristiwa urbanisasi dan migrasi adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan
modern, dan merupakan hak asasi setiap orang yang dijamin dan dilindungi oleh
hukum dan undang untuk melakukan sesuai yang diinginkan. Akan tetapi,
urbanisasi dan migrasi ke negara lain misalnya ke negeri jiran Malaysia, dan Arab
Saudi, banyak menimbulkan masalah, karena mereka yang melakukan urbanisasi dan
migrasi ke negara lain, tidak memiliki pendidikan dan kepakaran (skill) yang
memadai. Akibatnya untuk bertahan hidup di kota atau di negara lain, mereka
terpaksa melakukan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum seperti
menjadi penjual seks, peminta-minta, bahkan pencuri dan perampok.
SUMBER :
No comments:
Post a Comment