Friday, December 27, 2013

Budaya Mudik/Pulang Kampung

BUDAYA MUDIK/PULANG KAMPUNG
Makna Mudik

Mudik bermakna pergi ke “udik” atau pulang ke kampung halaman. Setidaknya begitulah seperti yang disebutkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedangkan menurut pengertian Wikipedia berbahasa Indonesia, mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik berasal dari bahasa jawa “Mulih Dhisik” yang artinya pulang dulu (Wikipedia).  Istilah mudik mengalami sinkronisasi dengan istilah Idul Fitri. Ia lebih ditekankan pemaknaannya pada waktu menjelang idul fitri. Padahal selain idul fitri pun orang yang kembali ke kampung halaman tetap saja disebut mudik juga.

Sejarah Mudik di Indonesia

Tradisi  mudik yang selalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi awal pertengahan dasawarsa 1970-an, ketika Jakarta tampil sebagai  salah satu  kota besar  di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sodikin (1966-1977),  berhasil disulap menjadi kota Metropolitan. Bagi penduduk kota-kota lain, terutama orang-orang udik, Jakarta menjelma menjadi  kota impian, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di kampung tidak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Lebih dari 80% para urbans ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan. Di Jakarta eksistensi mereka tenggelam, sementara legitimasi sosial atas keberadaan mereka juga tak kunjung datang. Itulah sebabnya kehadiran mereka di Jakarta akan dapat memenuhi harapan hidupnya.

Tradisi Mudik

Bila di Indonesia budaya mudik atau pulang kampung adalah budaya yang dipelihara dan terus berkelanjutan hingga akhir zaman dan tidak seorangpun yang bisa menghentikan atau melarang acara ritual tahunan ini, jutaan orang meningalkan tempat tinggalnya entah rumah milik sendiri atau mengontrak diperantauan kembali sejenak kekampung halaman untuk melakukan silatulrahmi dengan Orangtua dan keluarga setelah satu tahun tidak bertemu atau terpisah oleh karena pekerjaan atau terpaksa merantau demi penghidupan yang lebih baik.
Ritual mudik juga menjadi semacam media redistribusi uang/modal. Puluhan triliun rupiah dibawa pemudik, lalu berputar di daerah-daerah sebelum akhirnya nanti kembali tersedot di kota-kota besar yang menjadi mesin perputaran ekonomi nasional. Meskipun merepotkan, berbiaya besar, dan berisiko, jutaan perantau atau warga kota yang masih punya akar di desa dan daerah biasanya memiliki dorongan besar untuk mengunjungi keluarganya yang ada di udik.

Tradisi Mudik Lebaran

Pada umumnya masyarakat Indonesia menjelang Lebaran atau Idul Fitri, rutin pulang ke kampung halaman alias mudik. Mereka tak peduli betapa pun kesulitan yang dihadapinya untuk mudik lebaran. Seperti : berdesak-desakkan di kareta, berjubel di bis, dan kemacetan panjang di perjalanan. Begitu juga kalau memakai sepeda motor dengan resiko kepanasan dan kehujanan. Semua itu dilakukan dalam rangka merayakan hari Lebaran di kampung halaman, sekaligus untuk ajang silaturahmi bersama sanak-keluarga. Tradisi mudik nyaris menjadi kebutuhan kultural yang tidak tergantikan untuk waktu yang lain. Rasanya tidak afdol bila tak kumpul keluarga pada saat Lebaran. Pulang kampung memang tak sekadar silaturahim. Ada nuansa unjuk diri kisah sukses pemudik di tanah rantau. Itu sah saja dan menjadi penyemangat sukses bagi perantau.Oleh karena itu, meskipun di jalanan bertaruh nyawa, jutaan orang rela pulang kampung. Bahkan, ratusan ribu orang nekat mengendarai sepeda motor untuk mudik yang jaraknya bisa mencapai ratusan kilometer. Hingga H-4 pada arus mudik Lebaran 2013 saja, misalnya, sekitar 50 nyawa pemudik melayang, puluhan orang luka berat, dan ratusan orang luka ringan akibat mengalami kecelakaan ketika hendak bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabatnya di daerah. Jika tidak ada perubahan perilaku pemakai jalan, jumlah korban jiwa di jalan raya kemungkinan bertambah karena masa mudik hingga saat arus balik masih lama. 
Tradisi mudik dengan kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun roda dua, kian menguat bersamaan dengan membaiknya kesejahteraan warga. Namun, di balik itu ancamannya sungguh serius. Pada arus mudik dan balik Lebaran 2012, tercatat 908 orang meninggal, 1.505 orang luka berat, dan 5.000 pemudik luka ringan. Sungguh jumlah kehilangan nyawa yang sangat banyak. Jauh lebih banyak dibandingkan ketika Gunung Merapi meletus pada awal 2010. Permasalahan mudik memang kompleks, misalnya, tidak seimbangnya pertambahan jalan dengan jumlah kendaraan, kualitas infrastruktur termasuk rambu, dan rendahnya disiplin berlalu lalu lintas. Hampir semua kecelakaan lalu lintas diawali dengan pelanggaran aturan lalu lintas.
Beragam upaya dilakukan untuk meredam angka kecelakaan, misalnya, dengan program mudik gratis menggunakan bus atau kereta api yang dilakukan oleh perusahaan swasta, BUMN, atau pemerintah daerah. Ini memang langkah mulia, namun dibandingkan dengan jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan bermotor pribadi, tampaknya hal itu tidak terlalu banyak mengurangi potensi kecelakaan di jalan. Jumlah korban jiwa yang terus bertambah dari tahun ke tahun pada arus mudik Lebaran seharusnya kian menyadarkan pemerintah untuk lebih serius mencari cara agar rakyatnya tidak mati sia-sia di jalan ketika mau bertemu dengan keluarga dan kerabatnya. Misalnya, menegakkan aturan larangan sepeda motor dinaiki lebih dari dua orang. Karena perjalanan panjang dengan sepeda motor sangat berisiko, wajibkan setiap pemudik sepeda motor mengecek kesehatannya setelah berjalan 100 kilometer, misalnya. Kalau memang tidak fit, pemudik wajib naik angkutan umum dan kendaraanya dititipkan di kantor polisi, misalnya Proyek rel kereta ganda yang dijadwalkan tuntas akhir tahun ini diharapkan bisa menambah pilihan modal transportasi bagi pemudik Lebaran 2014. Pengoperasian rel ganda tentu saja akan memangkas waktu tempuh di kota-kota strategis Pulau Jawa. Selain itu, dari sisi keamanan, seharusnya juga lebih baik sehingga kian banyak orang tertarirk naik kereta ketika mudik.
Dari sisi budaya, tradisi mudik Lebaran tidak mungkin dilenyapkan. Kemajuan pesat teknologi kemajuan teknologi informasi yang ditandai setiap orang bisa berkomunikasi tanpa kendala jarak, ternyata sama sekali tidak menyurutkan fitrah manusia yang selalu ingin bertatap muka dan merasakan kehangatan telapak tangan ketika bersalaman.

Tradisi Mudik di Amerika

Di Amerika sendiri acara mudik sangat kentara sekali terlihat menjelang hari bersyukur ( Thanks Giving day) Hari bersyukur adalah hari raya terbesar diseluruh Rakyat Amerika no matter who you are Christian, Jews, Mosleem, buddist semua merayakan upacara ini dengan menu utama Turkey ( ayam kalkun) saat makan malam bersama tradisi ini yang terus dilestarikan dari abab ke abad sejak tahun 1790an saat Kapal May Flower kapal pengungsi dari Irlandia tiba di Playmouth Boston setelah berlayar jauh dari Eropa demi mencari kebebasan dalam menjalankan kepercayaan dan bebas dari tekanan pemaksaan agama tertentu. Acara Thanks Giving day dirayakan pada minggu terakhir dibulan November setiap tahun dan pada saat itulah terjadi lonjakan penumpang pesawat diseluruh penjuru Amerika Serikat, namun harga tiket yang dijual tidak ada istilah tulsa atau kenaikan yang luar biasa sebab rata-rata penduduk AS sudah membeli tiket penerbangannya jauh hari sebelum tanggal keberangkatannya.

Dampak Positif Mudik

Mudik Lebaran, di samping menimbulkan dampak negatif, juga banyak dampak positifnya. Pertama, dampak ekonomi. Mudik para perantau telah menimbulkan dampak positif bagi ekonomi di kampung halaman. Mereka pulang dengan membawa uang dan berbelanja telah mendorong perputaran ekonomi yang tinggi di kampung, sehingga para petani, nelayan dan pemerintah daerah mendapat manfaat ekonomi. Mereka menyewa hotel dan penginapan, telah mendorong kemajuan kampung halaman karena membuka dan memajukan bisnis penginapan dan hotel. Belum lagi, pemudik memberi sedekah, zakat fitrah dan zakat harta (mal) kepada keluarga dan penduduk di kampung halaman mereka. Kedua, silaturahim (hubungan kasih sayang) antara pemudik dan penduduk kampung terbangun kembali, yang selama hampir satu tahun tidak pernah bertemu. Ini sangat positif untuk memelihara, merawat dan menjaga bangunan kebersamaan satu kampung. Ketiga, persatuan dan kesatuan terjaga dan terpelihara. Bangsa Indonesia yang amat tinggi rasa keagamaan (religiusitas)-nya, telah memberi andil yang besar untuk menjaga, merawat dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia melalui medium silaturahim Idul Fitri. Hal ini, tidak bisa dinilai dengan pengorbanan harta dan tenaga yang dilakukan para pemudik. Keempat, pengamalan agama. Peristiwa mudik Lebaran, juga mempunyai dampak positif dalam pengamalan ajaran Islam. Karena di tengah kemajuan yang membawa manusia kepada perilaku individualistik, yang enggan berhubungan dengan pihak lain dan merasa terganggu, melalui medium silaturahim Idul Fitri dalam rangka hubungan manusia (hablun minannaas) tetap diamalkan, dan bahkan telah menjadi budaya seluruh bangsa Indonesia. Kelima, secara sosiologis, mudik Lebaran mendekatkan si perantau yang sudah sukses dengan mereka yang masih berdomisi di kampung halaman seperti orang tua, famili dan teman-teman. Peristiwa mudik, bisa memperbaharui kembali hubungan sosial dengan masyarakat sekampung, yang tentu berdampak positif dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Dampak Negatif Mudik

Mudik Lebaran yang sudah menjadi budaya, diakui atau tidak, mempunyai dampak negatif. Pertama, konsumerisme, pamer kemewahan, boros dan berbagai perilaku yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam dan tujuan puasa itu sendiri. Di mana hasil puasa selama sebulan penuh, seharusnya semakin menghadirkan ketakwaan yaitu kedekatan kepada Allah dan sesama manusia yang sebagian besar masih mengalami kesulitan hidup. Mereka masih dihimpit kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Kedua, bisa mengundang cemburu dan iri hati para penduduk kampung. Pulangnya para pemudik untuk berlebaran di kampung halaman, dengan memamerkan kemewahan misalnya mobil yang bagus, baju dan sepatu yang baru, bisa menimbulkan 'cultural shock' (goncangan budaya). Di mana orang-orang kampung atau desa meniru dan mengikuti cara hidup orang kota yang pulang kampung, misalnya berutang dan atau menjual harta benda seperti tanah untuk membeli motor, mobil dan sebagainya sebagai asesori kemewahan.
Bisa juga orang-orang kampung terutama anak-anak muda, laki-laki dan perempuan merantau, dalam rangka mengikuti jejak para pemudik. Untuk mendapatkan harta dan kemewahan, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan harta, supaya tahun berikutnya, mereka juga bisa mudik dan menampilkan kekayaan dan kemewahan seperti saudara-saudaranya yang mudik tahun lalu. Ketiga, memacu urbanisasi dan migrasi. Mudik Lebaran, juga bisa berdampak negatif yang memacu peningkatan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kampung atau desa ke berbagai kota di Indonesia. Selain itu, juga dapat mendorong meningkatnya migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain. Dalam sejarah mudik Lebaran, sudah terbukti bahwa usai mudik lebaran, semakin banyak orang kampung yang melakukan urbanisasi, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kehidupan di kota.
Sebenarnya peristiwa urbanisasi dan migrasi adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan modern, dan merupakan hak asasi setiap orang yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dan undang untuk melakukan sesuai yang diinginkan. Akan tetapi, urbanisasi dan migrasi ke negara lain misalnya ke negeri jiran Malaysia, dan Arab Saudi, banyak menimbulkan masalah, karena mereka yang melakukan urbanisasi dan migrasi ke negara lain, tidak memiliki pendidikan dan kepakaran (skill) yang memadai. Akibatnya untuk bertahan hidup di kota atau di negara lain, mereka terpaksa melakukan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum seperti menjadi penjual seks, peminta-minta, bahkan pencuri dan perampok.

SUMBER :