Joerike Joeliana Aditio
34413658
3ID10
Perkembangan Penduduk Indonesia
34413658
3ID10
Perkembangan Penduduk Indonesia
Pertumbuhan
penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai
perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan "per
waktu unit" untuk pengukuran. Sebutan pertumbuhan penduduk merujuk pada
semua spesies, tapi selalu mengarah pada manusia, dan sering digunakan secara
informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan penduduk, dan digunakan
untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia.
Perkembangan
penduduk terjadi disebabkan oleh pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk
akibat adanya kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan
penduduk (migrasi). Kelahiran dan kematian merupakan faktor pertumbuhan alami,
adapun perpindahan penduduk merupakan faktor pertumbuhan non alami.
Berdasarkan badan
pusat statistik mengenai laju pertumbuhan penduduk menurut provinsi di tahun
2015, dapat dilihat dari gambar tabel grafik Jumlah Penduduk Indonesia yang
bersumber dari Badan Sensus Penduduk kita mengetahui bahwa pertumbuhan jumlah
penduduk Indonesia sangat melaju pesat. Karena pada zaman Orde Lama saja Jumlah
penduduk Indonesia 97,1 juta jiwa dan pada akhir tahun 2010 jumlahnya dua kali
lipat pnduduk jumlah penduduk Indonesia semenjak kemerdekaan yakni degan jumlah
237,6 juta jiwa.
Dan disini kita
dapat menganalisa pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Dilihat dari angka
rata-rata kenaikan jumlah penduduk yang dalam setiap 10 tahun berkisar 32 juta
jiwa. Maka kita dapat mengambil kesimpulan pertambahan penduduk pertahunnya
adalah 2,6 juta jiwa. Jadi Jumlah Penduduk Indonesia tahun 2013 sebesar 245,4
juta jiwa. Kemudian Jumlah Penduduk Indonesia tahun 2014 sebesar 248 juta jiwa.
Akan tetapi ada
yang disayangkan dengan pertumbuhan penduduk Indonesia, meskipun jumlah
penduduk dalam tahun ke tahun semakin pesat, namun persebaran penduduk
Indonesia tidak merata ke seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari 33
provinsi. Untuk mengetahui lebih jelasnya langsung lihat aja diagram dibawah
ini.
Pertambahan
Penduduk dan Lingkungan Pemukiman
Penataan ruang
tidak lagi semata menjembatani kepentingan ekonomi dan sosial. Lebih jauh dari
kedua hal itu (ekonomi dan sosial), penataan ruang telah berubah orientasinya
pada aspek yang benar-benar berpihak untuk kepentingan lingkungan hidup,
sebagai konsekuensi keikut-sertaan Indonesia pada upaya menekan pemanasan
global. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah ditegaskan
mengenai tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, serta menciptakan
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
Keterpaduan dalam
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber
daya manusia; serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Penataan ruang yang
berpihak pada lingkungan hidup perlu ditegakkan bersama karena sebelumnya,
logika penataan ruang yang hanya mengikuti selera pasar, dalam kenyataan telah
mengancam keberlanjutan. Hal ini dapat dicermati dari keberadaan lahan-lahan
produktif dan kawasan buffer zone berada dalam ancaman akibat konversi lahan
secara besar-besaran untuk kepentingan penyediaan lahan yang mempunyai land
rent tinggi seperti peruntukan lahan untuk permukiman, industri, perdagangan
serta pusat-pusat perbelanjaan. Diperkirakan sekitar 15 ribu – 20 ribu ha per
tahun lahan pertanian beririgasi beralih fungsi menjadi lahan non pertanian,
serta tidak sedikit kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) terdegradasi.
Berdasarkan data (Bappenas, 2002) terdapat sekitar 62
Daerah Aliran
Sungai (dari 470 Daerah Aliran Sungai) terdegradas akibat dari penebangan hutan
yang tidak terkendali dari hulu sungai. Tekanan lingkungan lainnya adalah
menyangkut laju urbanisasi yang akan tumbuh sekitar 4,4 persen per tahun. Oleh
karena itu diperkirakan, pada tahun 2025 nanti terdapat sekitar 60 persen
penduduk Indonesia (167 juta orang) berada di perkotaan. Bila penataan ruang
tidak mengikuti logika pembangunan keberlanjutan, maka dapat dipastikan bahwa
kota-kota besar yang telah berkembang saat ini akan selalu berada tekanan
social yang sangat tinggi. Dilihat dari perspektif ekologis bahwa pertumbuhan
penduduk yang cepat dapat berdampak kepada meningkatnya kepadatan penduduk,
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan mutu lingkungan secara menyeluruh.
Menurut Soemarwoto (1991:230-250) bahwa secara rinci dampak kepadatan penduduk
sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat terhadap kelestarian lingkungan
adalah sebagai berikut:
(1)
Meningkatnya limbah rumah tangga sering disebut dengan limbah domestik.
Dengan naiknya kepadatan penduduk berarti jumlah orang persatuan luas
bertambah. Karena itu jumlah produksi limbah persatuan luas juga bertambah.
Dapat juga dikatakan di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, terjadi
konsentrasi produksi limbah.
(2)
Pertumbuhan penduduk yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi
dan teknologi yang melahirkan industri dan sistem transport modern. Industri
dan transport menghasilkan berturut-turut limbah industri dan limbah transport.
Di daerah industri juga terdapat kepadatan penduduk yang tinggi dan transport
yang ramai. Di daerah ini terdapat produksi limbah domsetik, limbah industri
dan limbah transport.
(3)
Akibat pertambahan penduduk juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan
pangan. Kenaikan kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan intensifikasi lahan
pertanian, antara lain dengan mengunakan pupuk pestisida, yang notebene
merupakan sumber pencemaran. Untuk masyarakat pedesaan yang menggantungkan
hidupnya pada lahan pertanian, maka seiring dengan pertambahan penduduk,
kebutuhan akan lahan pertanian juga akan meningkat. Sehingga ekploitasi hutan
untuk membuka lahan pertanian baru banyak dilakukan. Akibatnya daya dukung
lingkungan menjadi menurun. Bagi mereka para peladang berpindah, dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat, berarti menyebabkan
tekanan penduduk terhadap lahan juga meningkat. Akibatnya proses pemulihan
lahan mengalami percepatan. Yang tadinya memakan waktu 25 tahun, tetapi dengan
semakin meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan maka bisa berkurang
menjadi 5 tahun. Saat dimana lahan yang baru ditinggalkan belum pulih kesuburannya.
(4)
Makin besar jumlah penduduk, makin besar kebutuhan akan sumber daya.
Untuk penduduk agraris, meningkatnya kebutuhan sumber daya ini terutama lahan
dan air. Dengan berkembangnya teknologi dan ekonomi, kebutuhan akan sumber daya
lain juga meningkat, yaitu bahan bakar dan bahan mentah untuk industri. Dengan
makin meningkatnya kebutuhan sumber daya itu, terjadilah penyusutan sumber
daya. Penyusutan sumber daya berkaitan erat dengan pencemaran. Makin besar
pencemaran sumber daya, laju penyusunan makin besar dan pada umumnya makin
besar pula pencemaran.
Tingkat laju
pertumbuhan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan bukan mustahil akan
menyalip Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 227 juta
jiwa, sedangkan penduduk AS berjumlah 315 juta jiwa. Dari hasil survei,
pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun bertambah 3,2 juta jiwa.
Secara kuantitas
jumlah ini sama dengan jumlah seluruh penduduk Singapura. Kepala BKKBN Sugiri
Syarief menunjukkan bahwa program KB ternyata mengalami stagnasi dengan angka
rata-rata seorang wanita mempunyai anak selama masa subur secara nasional pada
2007 tetap berada di angka 2,6 dibanding 2003. Jumlah penduduk Indonesia saat
ini menduduki nomor empat terbanyak di dunia setelah China dengan 1,3 miliar
jiwa, India dengan 1,2 miliar, dan AS nomor ketiga dengan 315 juta. (Republika,
2 Juni 2009).
Bergesernya pola
hidup masyarakat dan tingginya tuntutan hidup modern yang makin sulit dikejar
menyebabkan terjadinya banyak stressor atau penyebab stress yang menyerang masyarakat
metropolis. Tidak mengherankan bila gangguan kejiwaan pun menjadi salahsatu
penyakit tren masyarakat kota dewasa ini. Indikatornya, jelas terlihat dari
banyaknya pasien non psikosa (bukan kejiwaan) yang dirawat instalasi Ilmu
Kedokteran Jiwa berbagai RSU.
Sebelum berakibat
lebih parah, selayaknya kita bercermin pada berbagai kejadian khusus yang
cenderung muncul di perkotaan. Jakarta, Surabaya, Medan dan kota besar lainnya
tidak hanya tampak indah dengan gedung-gedung pencakar langit dengan arsitektur
modern dan deretan mobil mewah yang berseliweran. Kota-kota ini tidak hanya
gagah karena gemerlapnya lampu-lampu kota yang menghidupkan suasana malam.
Namun, di balik gemerlap semua itu, kota ini juga mempunyai berbagai masalah
pelik sebagai kota besar yang notabene menjadi sasaran kaum urban sebagaimana
dialami kota-kota besar lain di berbagai belahan dunia.
Akumulasi berbagai
masalah klasik akibat peningkatan jumlah penduduk kota yang cepat makin
dirasakan dampaknya, mulai dari kemiskinan, pencemaran, pengangguran, hingga
kriminalitas dan sebagainya. Diperburuk lagi, kini banyak problema lingkungan
hidup kota sehingga pelestarian lingkungan makin berkurang dan perencanaan kota
jadi tidak sesuai dengan kenyataan akibat pengaturan Rencana Tata Ruang dan
Wilayah (RTRW) baik kota maupun propinsi yang sering tidak sinkron. Buntut dari
rangkaian masalah itu tidak lain adalah tingkat daya dukung kota terhadap
kehidupan warga yang makin rendah.
Secara umum,
pertumbuhan penduduk kota-kota di dunia cenderung mengalami lonjakan yang
sangat fenomenal, sementara pada saat yang sama, kualitas lingkungan cenderung
menurun. Lebih dari setengah jumlah penduduk di dunia sekarang ini tinggal di
perkotaan. Masalah-masalah perkotaan, seperti kepadatan lalu lintas, pencemaran
udara, perumahan dan pelayanan masyarakat yang kurang layak, kriminal,
kekerasan dan penggunaan obat-obat terlarang menjadi masalah yang harus
dihadapi masyarakat perkotaan. Sangat wajar, apabila kecenderungan tersebut
terus-menerus tidak ditangani maksimal, ibarat bola salju yang makin lama makin
membesar, dan akhirnya memicu runtuhnya kekuatan psikologis masyarakat.
Jika penduduk
Surabaya tahun 2010 diasumsikan berjumlah 5 juta jiwa, berarti setiap jiwa
hanya disuplai oleh lingkungan alam lebih kurang seluas 650 meter persegi,
padahal dalam suplai udara bersih, tidak ada ruang lagi untuk mendapatkannya.
Penyebabnya adalah jumlah penggunaan kendaraan bermotor yang makin meningkat
sehingga akan menghasilkan gas polutan bahan-bahan insektisida. Masalah polusi
udara di dalam ruangan adalah yang paling kerap kita hadapi sehari-hari.
Menurut laporan EPA (Environmental Protection Agency) 26.000 jiwa meninggal
dalam setiap tahunnya yang diakibatkan dari polusi udara dalam ruangan.
Sementara menurut laporan WHO sebanyak 12,5 juta jiwa mengalami gangguan
kesehatan akibat polusi udara tersebut.
Pertumbuhan
Penduduk dan Tingkat Pendidikan
Suatu wilayah
dengan pertambahan penduduk yang pesat dapat menyebabkan masalah- masalah
pendidikan, pengangguran, kesenjangan sosial dan masalah-masalah lainnya.
Dengan jumlah penduduk yang besar maka fasilitas-fasilitas sosial, pendidikan
dan pekerjaan juga ikut meningkat. Jika penduduk di suatu kota yang padat tidak
terpenuhi fasilitas pendidikannya maka akan menyebabkan penurunan tingkat
pendidikan wilayah tersebut. Tingkat pendidikan yang rendah dapat menyebabkan
pengangguran sehingga dampak pada tingkat perekonomian juga memburuk. Jika
masalah ini terus diabaikan maka kemerosotan negara tidak dapat dihindari. Tingkat
pendidikan yang buruk dapat menyebabkan anak-anak mengalami depresi. Hal ini
memicu terjadinya pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak dilakukan oleh anak-anak
di bawah umur. Bahkan dampak lain dari masalah ini bisa menyebabkan tingkat
tindakan kriminal yang dilakukan anak-anak meningkat.
Generasi muda dan anak-anak yang cerdas adalah kunci kemajuan suatu
negara. Jika masa kanak-kanak mereka diisi dengan hal-hal negatif maka jalan
menuju kesuksesan bangsa akan semakin jauh. Penduduk merupakan pelaku
pembangunan. Maka kualitas penduduk yang tinggi akan lebih menunjang laju
pembangunan ekonomi. Usaha yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kualitas
penduduk melalui fasilitas pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan dan
penundaan usia kawin pertama. Di negara-negara yang anggaran pendidikannya
rendah, biasanya menunjukkan angka kelahiran yang tinggi. Tidak hanya
persediaan dana yang kurang, tetapi komposisi usia secara piramida pada
penduduk yang berkembang dengan cepat juga berakibat bahwa rasio antara guru
yang terlatih dan jumlah anak usia sekolah akan terus berkurang.
Negara Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga untuk
melaksanakan pembangunan dalam segala bidang belum dapat berjalan dengan cepat,
karena kekurangan modal maupun tenaga tenaga ahli/ terdidik, Akibatnya
fasilitas secara kualitatif dalam bidang pendidikan masih terbatas. Pertambahan
penduduk yang cepat, lepas daripada pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas
pendidikan, cenderung untuk menghambat perimbangan pendidikan. Kekurangan
fasilitas pendidikan menghambat program persamaan atau perimbangan antara
pedesaan dan kota, dan antara bagian masyarakat yang kaya dan miskin. Oleh
karena itu, masyarakat dalam mencapai pendidikan yang tinggi masih sedikit sekali.
Hal ini disebabkan karena :
a.
Tingkat kesadaran masyarakat untuk bersekolah rendah.
b.
Besarnya anak usia sekolah yang tidak seimbang dengan penyediaan sarana
pendidikan.
c.
Pendapatan perkapita penduduk di Indonesia rendah sehingga belum dapat
memenuhi Kebutuhan hidup primer, dan untuk biaya sekolah.
Dampak yang ditimbulkan dari rendahnya
tingkat pendidikan terhadap pembangunan adalah:
1.
Rendahnya penguasaan teknologi maju, sehingga harus mendatangkan tenaga
ahli dari negara maju. Keadaan ini sungguh ironis, di mana keadaan jumlah
penduduk Indonesia besar, tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan tenaga ahli
yang sangat diperlukan dalam pembangunan.
2.
Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan sulitnya masyarakat menerima
hal-hal yang baru. Hal ini nampak dengan ketidak mampuan masyarakat merawat
hasil pembangunan secara benar, sehingga banyak fasilitas umum yang rusak
karena ketidakmampuan masyarakat memperlakukan secara tepat. Kenyataan seperti
ini apabila terus dibiarkan akan menghambat jalannya pembangunan.
Pengaruh daripada dinamika penduduk terhadap pendidikan juga dirasakan
pada keluarga. Penelitian yang dilakukan pada beberapa negara dengan latar
belakang budaya yang berlainan menunjukkan bahwa jika digabungkan dengan
kemiskinan, keluarga dengan jumlah anak banyak dan jarak kehamilan yang dekat,
menghambat perkembangan berfikir anak-anak, berbicara dan kemauannya, di samping
kesehatan dan perkembangan fisiknya. Kesulitan orang tua dalam membiayai
anak-anak yang banyak, lebih mempersulit masalah ini. Helen Callaway, seorang
ahli antropologi Amerika yang mempelajari masyarakat buta huruf, menyimpulkan
bahwa perkembangan ekonomi dan perluasan pendidikan dasar telah memperluas
jurang pemisah antara pria dan wanita. Hampir di mana – mana pria diberikan
prioritas untuk pendidikan umum dan latihan – latihan teknis. Mereka adalah
orang – orang yang mampu menghadapi tantangan – tantangan dalam dunia.
Sebaliknya pengetahuan dunia di tekan secara tajam pada tingkat yang terbawah.
Pengaruh daripada dinamika penduduk terhadap pendidikan juga dirasakan
pada keluarga. Penelitian yang dilakukan pada beberapa negara dengan latar belakang
budaya yang berlainan menunjukkan bahwa jika digabungkan dengan kemiskinan,
keluarga dengan jumlah anak banyak dan jarak kehamilan yang dekat, menghambat
perkembangan berfikir anak – anak, berbicara dan kemauannya, di samping
kesehatan dan perkembangan fisiknya. Kesulitan orang tua dalam membiayai anak –
anak yang banyak, lebih mempersulit masalah ini padahal tingkat pendidikan
sangat siperlukan sebagai alat menyampaikan informasi kepada manusia tentang
perlunya perubahan dan untuk merangsang penerimaan gagasan – gagasan baru.
Pertumbuhan
Penduduk dan Penyakit yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup
Kemampuan manusia
untuk mengubah atau memoditifikasi kualitas lingkungannya tergantung sekali
pada taraf sosial budayanya. Masyarakat yang masih primitif hanya mampu membuka
hutan secukupnya untuk memberi perlindungan pada masyarakat. Sebaliknya,
masyarakat yang sudah maju sosial budayanya dapat mengubah lingkungan hidup
sampai taraf yang irreversible. Perilaku masyarakat ini menentukan gaya hidup
tersendiri yang akan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan yang
diinginkannya mengakibatkan timbulnya penyakit juga sesuai dengan prilakunya
tadi. Dengan demikian eratlah hubungan antara kesehatan dengan sumber daya
social ekonomi. WHO menyatakan “Kesehatan adalah suatu keadaan sehat yang utuh
secara fisik, mental dan sosial serta bukan hanya merupakan bebas dari
penyakit”.Dalam Undang Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan.
Dalam Bab 1,Pasal 2 dinyatakan bahwa “Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan
(somatik),rohani (jiwa) dan sosial dan bukan hanya deadaan yang bebas dari
penyakit, cacat dan kelemahan”. Definisi ini memberi arti yang sangat luas pada
kata kesehatan.
Keadaan kesehatan
lingkungan di Indonesia masih merupakan hal yang perlu mendapaat perhatian,
karena menyebabkan status kesehatan masyarakat berubah seperti: Peledakan
penduduk, penyediaan air bersih, pengolalaan sampah,pembuangan air limbah
penggunaan pestisida, masalah gizi, masalah pemukiman, pelayanan kesehatan,
ketersediaan obat, populasi udara, abrasi pantai,penggundulan hutan dan banyak
lagi permasalahan yang dapat menimbulkan satu model penyakit. Jumlah penduduk
yang sangat besar 19.000 juta harus benar-benar ditangani masalah.pemukiman
sangat penting diperhatikan. Pada saat ini pembangunan di sektor perumahan
sangat berkembang, karena kebutuhan yang utama bagi masyarakat. Perumahan juga
harus memenuhi syarat bagi kesehatan baik ditinjau dari segi bangungan,
drainase, pengadaan air bersih, pentagonal sampah domestik uang dapat
menimbulkan penyakit infeksi dan ventilasi untuk pembangunan asap dapur.
Indonesia saat ini
mengalami transisi dapat terlihat dari perombakan struktur ekonomi menuju
ekonomi industri, pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi yang meningkatkan
jumlahnya, maka berubahlah beberapa indikator kesehatan seperti penurunan angka
kematian ibu, meningkatnya angka harapan hidup ( 63 tahun ) dan status gizi.
Jumlah penduduk terus bertambah, cara bercocok tanam tradisional tidak lagi
dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Pertumbuhan Penduduk yang tidak
merata tersebut sangat berpengaruh dengan lingkungan, penduduk yang tinggal
dipemukiman yang sembarangan akan mengakibatkan lingkungan yang tidak bersih.
Lingkungan yang tidak dijaga akan mengakibatkan penyakit yang dapat mengacam
kesehatan manusia, misalnya penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan adalah
Malaria, Muntaber, Penyakit Kulit, Tifus, dll. Seperti banjir, polusi air, dan
polusi udara adalah faktor yang mengakibatkan terjadinya penyakit, jika lama
kelamaan manusia tidak memperhatikan lingkunganya maka sangat besar peluang
penyakit menyebar, dalam hal ini kesadaran manusia sangat dibutuhkan, kita
diharapkan perlu adanya sosialisasi kepada penduduk tentang pemukiman yang
sehat dan adanya jaminan kesehatan bagi masyarakat luas dari pemerintah dan
pemerintah haruslah meningkatkan pendidikan kesehatan bagi masyarakat, dan yang
paling penting diperhatikan pemeintah adalah pelayanan kesehatan masyarakat
yaitu dengan menciptakan klinik disetiap pemukiman penduduk.
Pertumbuhan Penduduk dan Kelaparan
Kekurangan gizi dan
angka kematian anak meningkat di sejumlah kawasan yang paling buruk di Asia dan
Pasifik kendati ada usaha internasional untuk menurunkan keadaan itu, kata
sebuah laporan badan kesehatan PBB hari Senin. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menegaskan bahwa sasaran kesehatan yang ditetapkan berdasarkan delapan Tujuan
Pembangunan Milenium PBB tahun 2000 tidak akan tercapai pada tahun 2015
berdasarkan kecnderungan sekarang. “Sejauh ini bukti menunjukkan bahwa kendati
ada beberapa kemajuan, di banyak negara, khususnya yang paling miskin, tetap
ketinggalan dalam kesehatan,” kata Dirjen WHO Lee Jong Wook dalam laporan itu.
Kendati tujuan pertama mengurangi kelaparan, situasinya bahkan memburuk
sementara negara-negara miskin berjuang mengatatasi masalah pasokan pangan yang
kronis, kata data laporan itu.
Antara tahun 1990
dan 2002– data yang paling akhir– jumlah orang yang kekurangan makanan
meningkat 34 juta di indonesia dan 15 juta di Surabaya dan 47 juta orang di
Asia timur, kata laporan tersebut. Proporsi anak berusia lima tahun ke bawah
yang berat badannya terlalu ringan di Surabaya, tenggara dan timur meningkat
enam sampai sembilan persen antara tahun 1990 dan 2003, sementara hampir tidak
berubah (32 persen). Lebih dari separuh anak-anak di Asia selatan kekurangan
gizi, sementara rata-rata di negara-negara berkembang tahun 2003 tetap
sepertiga. “Meningkatnya pertambahan penduduk dan produktivitas pertanian yang
rendah merupakan alasan utama kekurangan pangan di kawasan-kawasan ini,” kata
laporan itu. Kelaparan cenderung terpusat di daerah-daerah pedesaan di kalangan
penduduk yang tidak memilki tanah atau para petani yang memiliki kapling yang
sempit untuk memenunhi kebutuhan hidup mereka,” tambah dia.
Tidak ada satupun negara-negara miskin dapat memenuhi tantangan mengurangi
tingkat kematian anak. Kematian bayi meningkat tajam di Surabaya antara tahun
1999 dan 2003, yang menurut data terakhir yang diperoleh, dari 90 sampai 126
anak per 1.000 kelahiran hidup. Juga terjadi peningkatan tajam dari 38 menjadi
87 per 1.000 kelahiran hidup. “Untuk sebagian besar negara kemajuan dalam
mengurangi kematian anak juga akan berjalan lambat karena usaha-usaha
mengurangi kekurangan gizi dan mengatasi diare, radang paru-paru, penyakit yang
dapat dicegah dengan vaksin dan malaria tidak memadai,” kata laporan itu.
Berdasarkan kecenderungan sekarang, WHO memperkirakan pengurangan dalam angka
kematian dikalangan anak berusia dibawah lima tahun antara tahun 1990 dan 2015
akan menjadi sekitar seperempat, kurang dari dua pertiga dari yang diusahakan.
Tingkat kematian
ibu diperkirakan akan menurun hanya di negara-negara yang telah memiliki
tingkat kematian paling rendah sementara sejumlah negara yang mengalami angka
terburuk bahkan sebaliknya. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan angka
kelahiran di Indonesia, diperparah dengan pola penyebaran penduduk yang tidak
merata. “Jika semua itu, tidak segera dikendalikan, maka hal itu akan jadi
beban buat kita semua. Karena itu, baik pria maupun wanita harus memaksimalkan
program KB. Untuk mengurangi jumlah penduduk lapar tersebut, maka menurut Diouf
diperlukan peningkatan produksi dua kali lipat dari sekarang pada tahun 2050.
Peningkatan produksi ini khususnya perlu terjadi di negara berkembang, di mana
terdapat mayoritas penduduk miskin dan lapar. Jumlah penduduk dunia yang
mengalami kelaparan meningkat sekitar 50 juta jiwa selama tahun 2007 akibat
dari kenaikan harga pangan dan krisis energi.
Kemiskinan
dan Keterbelakangan
Salah satu wabah
penyakit yang melanda negara-negara yang sedang berkembang ialah kemiskinan dan
keterbelakangan. Kemiskinan dan keterbelakangan adalah suatu penyakit, karena
dalam kenyataannya dua hal itu melemahkan fisik dan mental manusia yang tentunya
juga berdampak negative terhadap lingkungan. Kemiskinan dan keterbelakangan
begitu erat kaitannya satu sama lain sehingga dapat dianggap sebagai satu
pengertian, maka digunakan satu istilah saja, yaitu kemiskinan di mana sudah
terkait pengertian keterbelakangan.
Dampak kemiskinan terhadap orang-orang
miskin sendiri dan terhadap lingkungannya, baik lingkungan social maupun
lingkungan alam, dengan sendirinya sudah jelas negative. Orang miskin tidak
mampu memenuhi kebutuhan gizi minimal bagi dirinya sendiri maupun bagi
keluarganya. Dampak kemiskinan terhadap lingkungan social tampakmengalirnya
penduduk ke kota-kota tanpa bekal pengetahuan apalagi bekal materi. Akibatnya
antara lain ialah banyaknya tukang becak, pemungut punting, gelandangan,
pengemis, dan sebagainnya yang menghuni kampung-kampung liar dan jorok di
gubuk-gubuk reot yang tidak pantas didiami manusia. Sebab-sebab kemiskinan yang
pokok bersumber dari empat hal, yaitu mentalitas si miskin itu sendiri,
minimnya ketrampilan yang dimilikinya, ketidakmampuannya untuk memanfaatkan
kesempatan-kesempatan yang disediakan, dan peningkatan jumlah penduduk yang
relatif berlebihan.
Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan
masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif,
dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara.
Pemahaman utamanya mencakup:
a.
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan
sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti
ini dipsdfgeggahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan
dasar.
b. Gambaran tentang kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
c.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik
dan ekonomi di seluruh dunia.
Kartasasmita mengatakan bahwa kemiskinan
merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan
keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin
pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada
kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang
mempunyai potensi lebih tinggi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan
Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-samaan
kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial. Namun menurut Brendley,
kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan
pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas.
Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya
dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan hidup yang
pokok. Sedangkan Lavitan mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan
barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup
yang layak.
Sumber: